Pemerintah Jangan Hanya Terpaku Pada Bahan Baku, Tapi Ketinggalan Soal Teknologi Baterai
Jakarta - Pemerintah berupaya mengakselerasi pengembangan industri kendaraan listrik, termasuk menumbuhkan industri pendukung seperti baterai, motor listrik dan inverter. Apalagi Indonesia punya modal bahan baku pembuatan baterai lithium-ion yang besar, seperti nikel dan kobalt. Ada potensi besar jadi basis produksi baterai.
Pengembangan kendaraan listrik juga diatur melalui Peraturan Menteri
Perindustrian Nomor 27 Tahun 2020 tentang Spesifikasi Teknis, Roadmap EV
dan Perhitungan Kandungan Lokal.
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan
Elektronika (ILMATE) Kemenperin, Taufiek Bawazier menyebut permintaan EV
di dunia diperkirakan terus meningkat.
"Pada 2040 diperkirakan akan mencapai sekitar 55 juta unit. Pertumbuhan ini tentunya mendorong peningkatan kebutuhan baterai lithium ion (LiB),"ungkap Taufiek. Karena itu, tutur Taufiek, negara dengan sumber bahan baku baterai seperti Indonesia, nantinya memegang peranan sangat penting.
Dan kebutuhan baterai lithium Ion akan terus meningkat, seiring dengan berkembangnya isu lingkungan dan tren dunia. "Hal ini menjadi potensi pengembangan industri baterai yang merupakan komponen utama dalam ekosistem energi terbarukan,"paparnya.
Potensi tak berhasil
Meski demikian, Taufiek mengingatkan pemerintah jangan gelap mata, dan
hanya terpaku pada melimpahnya bahan baku, tapi ketinggalan soal
teknologi baterai.
Akibatnya, bisa jadi harapan untuk bisa menjadi pemain utama dan menjadi basis produksi baterai kendaraan listrik bisa gagal.
Kata Taufiek, masa depan kendaraan listrik juga tergantung pada inovasi
baterai, yang kini cenderung tidak menggunakan bahan baku nikel, cobalt,
dan mangan seperti lithium sulfur dan lithium ferro phosphor.
Material itu membuat baterai lebih murah, termasuk juga inovasi solid baterai dan pengembangan basis storage hidrogen.
"Dengan demikian kita harus mengantisipasi perkembangan ini karena akan membawa dampak pada baterai yang lebih murah, energi yang
dihasilkan lebih tinggi dan waktu pengisian yang singkat,"katanya.
Taufiek mengingatkan akan teknologi disruptive battery yang
mengindikasikan ketersediaan nikel, mangan dan kobalt melimpah tidak
menjamin produksi baterai yang mengandalkan material ini akan berhasil. "Pertimbangan biaya dan kemampuan storage dari product baru, juga harus diantisipasi," tuturnya.
Komentar
Posting Komentar